Saat
ribuan tetes air berjatuhan, menghunjam tanah tanpa ampun
Meninggalkan
jejak awan kelabu di langit
Membasahi
pucuk-pucuk daun muda
Manusia
merindu mentari
Berjalan
di bawah rinai dengan payung terkembang
Beberapa
tetes lagi membangkitkan lamunan tersyahdu
Membangunkan
memori yang terkubur
Setetes
lagi merambatkan dingin tak berperi ke kulit
Membuka
mata, menyadari semua hanya lamunan
Ah,
betapa baiknya apabila hujan segera berhenti
Karena
manusia merindu mentari
Namun
betapa baiknya Tuhan manusia
Menurunkan
air dari langit, bebas ditadah siapa saja
Setiap
tetesnya adalah kesempatan bagi siapa saja
Yang
ingin menengadahkan tangan, berdoa dan berharap
Ingatlah
wahai manusia
Tetes
hujan menanti doa terbaikmu
***
Matahari
bersinar terik, menaikkan suhu permukaan bumi. Teriknya menerpa permukaan
perairan, memanaskan berjuta kubik air di bumi. Mirip dengan sepanci air yang
dipanaskan di atas kompor menyala. Suhu air akan terus naik, hingga ia sampai
pada suatu titik dimana ia akan berubah wujud, dari cairan menjadi gas yang tak
kasat mata. Ia telah menjelma menjadi uap air. Uap air pun naik, melayang ke
angkasa, berkumpul dengan uap air lainnya tanpa peduli lagi dengan perbedaan
asal perairan, tanpa peduli lagi dulu dari danau, sungai, atau lautan yang mana.
Uap-uap air yang terhimpun menjelma menjadi corak-corak di langit laksana
kapas-kapas raksasa yang tercabik dan tersebar di angkasa.
Mereka
tak bisa selamanya di atas sana. Langit mungkin akan terlalu penuh dengan uap
air. Lagipula, kalau air terus-menerus melayang ke langit dan tak ada yang
tersisa di bumi, bagaimana nasib manusia di bumi? Manusia kan tidak mungkin mau
ikut melayang ke langit bersama air. Uap air tidak akan seegois itu tinggal di
langit. Beribu uap air, setelah melalui berbagai proses pendinginan di langit,
lantas turun, menghujam bumi dalam bentuk air. Turun, kembali ke perairan, ada
juga yang menyelinap masuk lewat celah-celah di tanah, lalu menyentuh ujung
akar yang kering. Beberapa tetes menyatu dengan aliran sungai, beberapa yang lainnya
menggenangi sawah para petani yang telah menanti.
Aku
tak berniat untuk memberi kuliah singkat tentang siklus air dan hujan. Tapi
kisah perjalanan air ini memang bukan kisah biasa. Ini kisah luar biasa!
Bagaimana bisa air laut yang awalnya asin, lantas menguap, bercampur dengan air
danau, air sungai, yang tidak semuanya jernih, lalu turun kembali dalam bentuk
tetesan yang bening tanpa rasa? Ya, siklus air adalah sebuah sistem penyulingan
raksasa! Berjuta kubik air di bumi disuling dalam sebuah proses yang bahkan
alatnya pun tak bisa dilihat oleh mata manusia. Sistem alam yang maha canggih
ini dimodifikasi, diperkecil skalanya, dan terciptalah alat penyuling air.
Pada
hakikatnya, manusia memang tak pernah menciptakan suatu ilmu. Ya, manusia
kadang terlalu sombong untuk mengakui, bahwa ilmu adalah kepunyaan Sang
Pencipta langit dan bumi. Manusia hanya menemukan ilmu-ilmu yang memang sudah
terserak di seluruh jagad raya ini. Wahai manusia, apa yang hendak kau
banggakan?
“Tidakkah engkau melihat bahwa Allah
menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia
menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari
celah-celahnya......” –QS.An-Nur:43-