Jumat, 28 Oktober 2016

Di Antara Rinai Hujan

Saat ribuan tetes air berjatuhan, menghunjam tanah tanpa ampun
Meninggalkan jejak awan kelabu di langit
Membasahi pucuk-pucuk daun muda
Manusia merindu mentari
Berjalan di bawah rinai dengan payung terkembang
Beberapa tetes lagi membangkitkan lamunan tersyahdu
Membangunkan memori yang terkubur
Setetes lagi merambatkan dingin tak berperi ke kulit
Membuka mata, menyadari semua hanya lamunan
Ah, betapa baiknya apabila hujan segera berhenti
Karena manusia merindu mentari
Namun betapa baiknya Tuhan manusia
Menurunkan air dari langit, bebas ditadah siapa saja
Setiap tetesnya adalah kesempatan bagi siapa saja
Yang ingin menengadahkan tangan, berdoa dan berharap
Ingatlah wahai manusia
Tetes hujan menanti doa terbaikmu
***
Matahari bersinar terik, menaikkan suhu permukaan bumi. Teriknya menerpa permukaan perairan, memanaskan berjuta kubik air di bumi. Mirip dengan sepanci air yang dipanaskan di atas kompor menyala. Suhu air akan terus naik, hingga ia sampai pada suatu titik dimana ia akan berubah wujud, dari cairan menjadi gas yang tak kasat mata. Ia telah menjelma menjadi uap air. Uap air pun naik, melayang ke angkasa, berkumpul dengan uap air lainnya tanpa peduli lagi dengan perbedaan asal perairan, tanpa peduli lagi dulu dari danau, sungai, atau lautan yang mana. Uap-uap air yang terhimpun menjelma menjadi corak-corak di langit laksana kapas-kapas raksasa yang tercabik dan tersebar di angkasa.
Mereka tak bisa selamanya di atas sana. Langit mungkin akan terlalu penuh dengan uap air. Lagipula, kalau air terus-menerus melayang ke langit dan tak ada yang tersisa di bumi, bagaimana nasib manusia di bumi? Manusia kan tidak mungkin mau ikut melayang ke langit bersama air. Uap air tidak akan seegois itu tinggal di langit. Beribu uap air, setelah melalui berbagai proses pendinginan di langit, lantas turun, menghujam bumi dalam bentuk air. Turun, kembali ke perairan, ada juga yang menyelinap masuk lewat celah-celah di tanah, lalu menyentuh ujung akar yang kering. Beberapa tetes menyatu dengan aliran sungai, beberapa yang lainnya menggenangi sawah para petani yang telah menanti.
Aku tak berniat untuk memberi kuliah singkat tentang siklus air dan hujan. Tapi kisah perjalanan air ini memang bukan kisah biasa. Ini kisah luar biasa! Bagaimana bisa air laut yang awalnya asin, lantas menguap, bercampur dengan air danau, air sungai, yang tidak semuanya jernih, lalu turun kembali dalam bentuk tetesan yang bening tanpa rasa? Ya, siklus air adalah sebuah sistem penyulingan raksasa! Berjuta kubik air di bumi disuling dalam sebuah proses yang bahkan alatnya pun tak bisa dilihat oleh mata manusia. Sistem alam yang maha canggih ini dimodifikasi, diperkecil skalanya, dan terciptalah alat penyuling air.
Pada hakikatnya, manusia memang tak pernah menciptakan suatu ilmu. Ya, manusia kadang terlalu sombong untuk mengakui, bahwa ilmu adalah kepunyaan Sang Pencipta langit dan bumi. Manusia hanya menemukan ilmu-ilmu yang memang sudah terserak di seluruh jagad raya ini. Wahai manusia, apa yang hendak kau banggakan?
“Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya......” –QS.An-Nur:43-


 

Template by BloggerCandy.com | Header Image by Freepik